Disil's stuff

A bunch of randomness #2

"Itu keluarga siapa ya?" tanyaku ke emak. Sebetulnya, ada 3 orang berkulit putih -bule yang terlihat membawa barang gede-gede di depan pintu rumah kosong itu.

Rumah itu sudah kosong sejak lama. Kalo gak salah, penghuni rumah yang lama pindah dari rumah itu akibat anaknya meninggal dunia. Memang, bapak dari anak itu adalah blasteran orang Singapura. Tapi, apa hubungannya dengan penghuni baru ini?

"Itu keluarga Stevenson." ujar emakku.

"Hah? stipenson? Nama orang atau benda apaan itu?"

Emak mengambil galah. "Jangan ngeledek nama orang. Mereka orang bule dari luar Indonesia. Sono, main ke rumahnya. Ibu denger mereka punya anak laki."


Singkat cerita, aku bersama teman akrabku Aden berdiri di depan gerbang rumah orang bule ini. Sebetulnya, bukannya kami ingin berkenalan, kami hanyalah dipaksa oleh kedua orang tua untuk "nemenin".

"Sono gih, masuk duluan" kata Aden blak-blakan.

"Gimana ngomongnya? Nanti diajak ngomong dalam inggris cuma melongo," aku ngeles. Sebetulnya, ada pelajaran Bahasa Inggris di sekolah SD, tapi kita masih ga mudeng karena gurunya galak.

Setelah berdiri selama kurang lebih 5 menit tanpa ada kemajuan yang berarti, aku memutuskan untuk masuk.

Aku gedor-gedor pagarnya yang berbahan besi. Ternyata berisik juga, pasti kedengeran sampe dalem rumah.

Tak lama kemudian, muncullah seorang anak membuka pagar. Sepertinya umur dia sepantaran dengan kami, tapi dia lebih tinggi mungkin karena gen orang luar.

"Hi!" kata anak itu antusias. Dia terlihat senang, mungkin karena belum ada yang pernah mengajak ia mengobrol sebelumnya.

"Oh, halo halo" kata Aden sambil menyodorkan tangan, pertanda akan salaman. Untungnya anak itu ngerti.

"Nice to meet you guys, I'm Dave." anak itu menunjuk-nunjuk dadanya.

"Itu ngomong apaan? nunjuk dada, dia sakit?" kata Aden. Aku tepok jidat. Asli, anak itu nggak pernah bisa paham manner umum kalo ngomong dengan orang baru. Memang dia blak-blakan ngomongnya.

"Would you guys want to come inside? Let's get to know each other!" kata anak itu sambil beranjak pergi. Sebetulnya, dari tadi aku sedang mengamati facial features dia. Dia keliatan sedih (melas). "Apa mungkin emang wajahnya aja kayak begitu ya?" gumamku.


Dave mondar-mandir di rumahnya yang menurut kami cukup besar. Kami disuruh duduk di sofa.

Ketika muncul, dia bawa ciki-cikian.

"So this is my favourite food from Australia, hope you'll guys like it. By the way, what's your name?" kata Dave, sambil menunjuk ke arahku.

Aku nggak ngerti blas. Tapi karena aku denger kata "wat is yur nem", jadi aku langsung aja bilang namaku. Aku berkata: "A-aku.." sambil berpikir kalimat yang tepat untuk memperkenalkan diri sendiri.

"Ahh, so your name is Aku, nice to meet you!" kata Dave. Loh kok, dia langsung jawab ya?

"Eh-eh ngga, namaku bukan Aku, namaku Rangga." aku langsung menyambar ucapannya biar ga salah paham. Panjang urusannya kalo salah nama.

"Um, sorry I didn't understand that," kata dia, sambil garuk-garuk rambut pirangnya.

"Rangga." Aku nunjuk-nunjuk mukaku sendiri dan ngulang namaku berkali-kali supaya dia ngerti.

"So your name is Rangga?"

"Yes yes" Aku puas banget. Lalu ngekek. Nanti di sekolah bisa gaya "Aku kenal wong bule loo," (canda)

"And who are you? Are you his friend?" kata Dave.

"Yes yes, I em Aden,"

"Eden? Is my pronunciation wrong?" kata Dave. Wkwk dipanggil Eden. Baru kali ini ada yg manggil dia Eden. Dia itu medok banget soalnya. Mungkin Dave salah denger kali ya.

"A-D-E-N. Lu orang luar gak bisa spelling ki piye.." kata Aden dengan muka yang jelek banget. Aku cubit paha dia biar ga ngomong kayak gitu. "Ndak sopan tawu,"

Aden melirik ke mataku, seolah berkata "Kan dianya juga ga ngerti toh."


Singkat cerita, silaturahmi itu berakhir nggak enak. Dave nya keliatan betul mencoba untuk mengerti apa yang kami bicarakan, tapi dia bingung. Gimana sih orangtuanya, pindah ke Indonesia tapi nggak diajari bahasanya.

Dia terus mengajak kami berdua untuk makan chiki buatan sana yang rasanya plain. Hambar. Kami udah ngejelasin, tapi dianya nggak ngerti. Akhirnya, waktu sholat dzuhur pun tiba.

Supaya nggak menimbulkan kesalahpahaman lagi, aku beranjak pamit. Dengan bermodalkan beberapa kalimat yang pernah aku ingat, aku mengucapkan terima kasih & izin untuk pulang.

"Thank you Dave, bye," sambil dadah-dadah ke Dave.

"You guys will go? Alright then. Let's play again later." jawabnya.

#story