Disil's stuff

Dinding Merah

Ini kisahku, cerita yang mengisi salah satu lembaran di buku harianku. Cerita ini dimulai ketika aku sedang menikmati masa kanak-kanak yang bahagia, tepatnya ketika aku dan sahabatku bernama Andi duduk di kelas 4 SD. Aku dan Andi mulai bersahabat semenjak awal masuk sekolah. Kami sering belajar bersama, bermain bersama, makan bersama, dan lain sebagainya. Bisa dibilang hubungan kami ini sebagai Best Friend Forever lah.

Suatu ketika, pada malam hari (waktu itu lagi bulan purnama, jadi malam itu terasa cerah ga creepy), kami berdua asik bermain di lapangan bola. Aku lupa apa yang kami mainkan saat itu, tapi yang aku ingat adalah ketika aku menaiki tepian tembok lapangan yang cukup tinggi dan aku menyuruhnya “ayo naik sini, landscape-nya bagus”.

Ketika ia berhasil naik ke atas tembok, tiba-tiba kejadian mengerikan itupun terjadi. Andi terjatuh dari tembok tempat kami berdiri dan kepalanya membentur batu besar di atas tanah, gara-gara terpeleset dengan sandalnya yang sudah tipis. Darahnya pun bercucuran, membuatku panik berteriak “Tolong..”. Karena saat itu lagi ada pengajian bapak-bapak nggak jauh dari tempat kami bermain, orang-orang langsung menolong Andi, dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

Karena aku rumahnya lebih jauh daripada rumah Andi, aku berlari pulang ke rumah dan memberitahu hal tersebut ke orangtuaku. Kami sekeluarga menyusul ke rumah sakit. Ketika sampai disana, sudah ada Ibu Andi menangis tersengguk-sengguk tanpa henti. Orang tuaku bertanya kepada perawat & dokter yang ada di sana, mereka mengatakan kalau Andi sudah menninggal karena kehabisan darah dan tidak ada persediaan darah saat itu.

Aku jatuh ke pangkuan ibuku sambil menangis. Saat itu ibuku mengatakan “Andi sudah tidak ada, kita udah gak bisa menolongnya, doakan saja dia…”

Waktu pun berlalu dengan cepat. Tak terasa aku sudah berada di jenjang SMP. Saat itu ada beberapa pilihan ekstrakulikuler yang ditawarkan. Salah satunya PMR. Aku berfikir, ini wadah yang bisa aku gunakan untuk menjadi seperti superhero. Aku mempelajari semua ilmu yang diberikan oleh pelatih dan senior ku di eskul itu. Banyak manfaat yang kudapatkan, serta banyak kegiatan sosial yang aku ikuti. Yah, aku ingin menolong orang lain, agar bisa membuat temanku yang sudah ada di alam lain ini senang.

Tahun berikutnya aku mengusulkan diadakannya kegiatan Donor Darah bersama PMI di sekolahku. Kami menghimpun warga sekitar untuk menyumbangkan darahnya, aku ingin menolong orang-orang yang membutuhkan darah seperti sahabatku saat malam mengerikan tersebut. Aku pun sebetulnya ingin menyumbangkan darah ku juga, tapi sayangnya belum cukup umur.

Terus aktif di kegiatan PMR menjadikanku sebagai ketua PMR di SMA. Aku pun kembali mengusulkan acara donor darah bersama PMI di sekolahku ini. Kali ini aku diijinkan untuk mendonorkan darah ku karena sudah memenuhi persyaratan umur (17 tahun). Waktu itu aku sangat gugup dan senang, karena itu pertama kali aku menyumbangkan darah ku. Sesaat jarum itu menusuk ke lenganku, rasa sakit (yaiyalah) dan rasa haru pun muncul dari hatiku. Andaikan saja aku bisa mendonorkan darahku waktu itu, mungkin Andi masih disini tertawa melihatku grogi disuntik jarum.

Aku berkata dalam hati “Lihat sini, walau mungkin waktu itu adalah takdirmu untuk meninggal, tapi aku ingin menolong orang lain agar tidak bernasib seperti kamu… Sekali lagi maaf ya aku dah nyuruh kamu naik ke tembok itu..”

The End

I know this story is terlalu memaksakan, tapi cerita ini buat projek sekolah

#story