Disil's stuff

Merdeka dalam berperilaku

Cerita ini awalnya dibuat untuk keperluan sekolah, jadi aku mohon maaf bila ada beberapa kalimat yang terdengar resmi (sudah aku coba untuk diperbaiki tapi ya tetap aneh ceritanya :v)

Aku capek. Letih, namun merasa tidak berguna. Buktinya, akhir-akhir ini semua lomba yang aku ikuti selalu kalah. Ucapan “Jangan menyerah, tetap optimis ya nak..” sudah sangat sering kudengar, sampai hafal. Secara logis, bagaimana bisa semangat kalau sudah berusaha dan bekerja keras tapi ga ada hasilnya? Teman-temanku yang mengikuti lomba ini bisa menang, padahal aku lihat mereka juga tidak terlalu bersungguh-sungguh dalam belajar persiapan lomba.

Jadi teringat saat masih di SMP. Aku selalu mendapat peringkat pertama di sekolah (juara paralel). Aku juga ‘langganan’ mengikuti lomba, dan tentu saja menang. Sampai bosan aku mendapatkan piala, sertifikat, uang tunai yang dipotong pajak, suvenir, dan lain sebagainya. Sekarang? Boro-boro dapat juara 1, dapat nilai 100 di tugas harian saja udah jarang.

Aku semakin merasa tidak berguna setelah pembagian rapot. Wali kelasku mengatakan “kamu nggak bersungguh-sungguh, ikut lomba cuma karena teman. Coba niat, kan bisa menang kayak waktu kamu di SMP. Udah, mulai semester depan kamu dipindah ke kelas yang lain ya, bukan lagi kelas unggulan ini.”

Beberapa waktu kemudian, semester baru tiba. Suasana di kelas yang katanya “paling ga pinter dan kampungan” tentu saja jauh berbeda daripada di kelas unggulan yang stereotypenya “sangat pintar dan berakhlak”. Anak-anak di kelas ini malah lebih solid, dan cenderung ramah bahkan terhadap ‘pendatang baru’ seperti aku.

Pertama kali masuk ke kelas ini aku diberi tempat duduk oleh seseorang yang bernama Aji. Setelah duduk semeja dengannya selama beberapa bulan barulah aku sadar bahwa kehidupan keluarganya berantakan, ia sering dianiaya oleh ayahnya yang serabutan, sementara ibunya menghilang entah kemana.

Suatu hari, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada dia tentang sikapnya. "Eh Aji, kamu kok bisa sih terus keliatan happy gitu? Bukannya kamu juga sepulang sekolah sibuk mengurus adik kamu ya, apa gak capek?". Ia menjawab dengan nada santai "Walaupun aku sibuk ngurus adek, pas ada waktu luang aku menyempatkan diri untuk mencoba hal-hal baru, biar ga bosan atau tertekan karena prestasi orang. Urusan orang ya milik orang, kita urusin urusan diri kita sendiri aja. Ingat, kita kan sudah merdeka—" " Maksudnya gimana? Aku lagi curhat kok ngarahnya ke pelajaran PPKn si?", aku memotong perkataannya.

"Loh, merdeka itu bukan cuma soal mempertahankan negara kayak pahlawan zaman dahulu. Merdeka itu dimulai dari hal-hal kecil. Begini deh, misalnya kalau semua teman kamu minum air got, kamu juga ikutan minum ga?". Aku lantas menjawab "ya ngga dong gimana sih, jijik akunya. Terus apa hubungannya, kok ngomongnya kesana kemari sih?" Ia menimpal "Nah, kan kamu nggak mau kan ikutan minum air got.. Tapi menurutku kalau kamu dihadapkan di situasi yang sama, kamu kayanya akan ikutan minum deh." Aku tentu saja makin heran dan mengatakan "Kok? Ah kamu ngayal…"

Aji menjelaskan: "Bayangin air got yang diminum tadi itu adalah lomba yang temen kamu ikut. Nah, kamu juga ikut-ikutan kan? Walaupun sebetulnya ga terlalu mau ikut lomba itu, tapi karena temen2 kamu ikut, kamu gengsi" "Terus maksudnya gimana? Aku jangan ikut lomba?" timpalku. Aji membalas "Ya dihitung peluangnya. Kamu kan pinter matematika, bisa kan ngitung peluang menang di lomba? Nah, kalau misalnya merasa gak akan menang, ya cari kesempatan yang lain aja. Toh rezeki gak akan ke mana."

Aku jadi tersadar setelah obrolan singkat tadi. Meskipun nadanya agak terlihat sebel & sinis dengan aku yang jadi kebanggaan guru di kelas ‘buangan’ ini, tapi aku merasa semua yang dia omongin itu benar, ga bisa dibantah.

Baru kali ini aku mendengar kata kemerdekaan berhubungan langsung dengan kebiasaan hidupku. Biasanya kalau sudah soal merdeka pikiranku langsung menuju sikap-sikap yang patut atau gotong royong di masyarakat. Yap, ternyata pikiranku sangat primitif.

Mengikuti saran yang dia berikan, aku perlahan mulai mencoba untuk tidak gampang ikut-ikutan kegiatan yang teman aku ikuti. Aku mulai mencoba untuk mengeksplor kegiatan yang belum pernah aku coba sebelumnya.

Hasilnya? Aku tidak lagi tertekan (seperti orang suruhan/budak) dengan tuntutan ‘mesti melebihi’ teman lagi, karena aku sadar bahwa sesungguhnya musuh terbesar kita adalah diri sendiri, bukanlah orang lain.

#story