Disil's stuff

Kutukan Ikan

Perkenalkan namaku Aji. Aku tinggal di sebuah gubuk yang berada di pedalaman Hutan Kalimantan. Semenjak Ibuku meninggal, Ayah selalu terlihat lelah karena disamping mencari nafkah, beliau juga membersihkan rumah dan tentunya mengasuh kami berdua yang masing-masing masih berusia 7 dan 6 tahun.

Baru-baru ini, Ayah menikah dengan seorang wanita yang berasal dari tengah kota. Ibu _baru_ku ini pandai memasak, bahkan masakannya lebih enak daripada yang dulu sering dimasak oleh mendiang Emak.

Berkat perkawinan ini, sekarang Ayah bisa bekerja lebih lama, dan mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Maklum, sebagai pengumpul kayu bakar, Ayah harus menjual kayu-kayu yang ia kumpulkan ke pasar setiap hari.

Aku bersama adikku Andi dan Ibu tinggal di rumah. Kegiatanku di rumah biasanya membantu ibu, atau bermain dengan adik. Karena asiknya kami bermain, hal ini membuat ibu kesal, karena tidak dipedulikan.

“Dasar kalian anak pemalas! Kerjaannya hanya makan, main, dan tidur saja. Cepat, ambilkan Ibu air di sungai” Ucap ibu sambil menghampiri kami dengan wajah penuh amarah. Aku mengangguk, dan langsung beranjak mengambil ember.

Sesampainya di sungai Aku mengisi beberapa ember sampai penuh, dan langsung beranjak pulang setelahnya. Sayangnya, di perjalanan pulang Aku dan adik berjalan sambil bercanda, sehingga airnya tumpah kesana-kemari.

Sudah bisa ditebak. Sesampainya di rumah, Aku memasang mindset ‘jangan dengar omelan ibu’. “Kenapa kamu bawa air hanya sedikit? Ini tidak cukup buat masak, apalagi mandi! Kalian mau ga mandi berhari-hari sampai bau busuk?” ucap Ibu dengan nada tinggi. Kami hanya bisa terdiam menunduk, menyadari kesalahan kami.

Namun, Adikku tiba-tiba mendongakkan kepalanya dan membelaku. Ia menjelaskan bahwa Aku diganggu olehnya dalam perjalanan pulang. Akhirnya, kami disetrap oleh Ibu selama beberapa jam, sebelum akhirnya dimaafkan & disuruh mengambil air (lagi).

--Satu Bulan Kemudian--

Makin hari udara di gubuk ini terasa makin panas. Begitu pula dengan emosi Ibuku yang semakin cepat memuncak. Aku telah mengadukan hal ini kepada Ayah. Namun, jawabannya tidak jauh dari kalimat “Ibu itu capek, kalian harus lebih peka membantu Ibu. Kalian belum tahu sulitnya menjadi orang tua” atau nasihat seperti “Kamu harus menurut kepada Ibu, karena surga ada di telapak kaki Ibu”

Suatu hari, Ibu menyuruh Aku dan adik untuk mencari kayu bakar di hutan. “Kalian harus bawa banyak kayu bakar ya, karena Ayah tidak akan pulang membawa kayu. Ayah baru akan pulang besok sore” ucap Ibu dengan tegas.

Kami berangkat dari rumah dan bergegas memasuki hutan. Aku mulai mengumpulkan ranting pohon yang berserakan. Matahari yang sulit menerpa karena hutan yang begitu lebat, membuat kami lengah terhadap waktu.

Tiba-tiba langit mulai memerah, pertanda bahwa malam segera tiba. Kayu yang Aku kumpulkan sudah cukup banyak, sehingga kami beranjak pulang. Namun, di tengah jalan, adikku tiba-tiba lemas, perutnya keroncongan. Sebetulnya, kami memang belum makan apapun sejak pagi tadi.

Aku menuntun dia yang berjalan sempoyongan, sembari melirik ke semua sisi hutan, mencari sesuatu yang bisa dimakan. Akhirnya, Aku menemukan sebuah pohon pisang didekat aliran sungai. Lantas Aku mengambil semua bonggol yang ada, dan langsung memberikan Adik pisang tersebut. Ia makan sangat lahap, membuatku ikut makan juga. Kami makan sampai perut kami penuh, dan tertidur.

Aku terbangun oleh suara burung yang berkicau di pagi hari. Setelah mencuci muka, Aku membangunkan Adik dan bergegas pulang ke rumah. Sayangnya, di tengah jalan kami terhambat oleh hujan yang seketika muncul. Kebetulan kami menemukan sebuah tempat untuk berteduh, jadi kayu kering yang sudah bersusah payah kami kumpulkan tidak kebasahan.

Hujan berlangsung cukup lama, sampai akhirnya kami lapar lagi.

“Ibu, kami pulang” ucap Adik yang sudah kelelahan dan pincang karena satu kakinya tertusuk duri di hutan. Aku masuk dan mencari keberadaan Ibu di seisi rumah. Tidak ada suara mereka. Malah, Aku menemukan ketan yang masih panas tertutup di dalam kuali besar.

Tak kusangka adikku mengikutiku di belakang, mungkin ingin minta dipijat kakinya. Ia langsung membuka tutup kuali ketan tadi, dan memakan ketan tersebut dengan lahap. Aku yang awalnya tidak mau makan karena takut kepada Ibu, setelah tergiur & digoda oleh Adik akhirnya ikut makan.

Terdengar bunyi hantakkan kaki di luar rumah. Ternyata, langkah kaki tersebut milik sendal Ayah & Ibu. Aku berkata kepada Andi “Cepet berhenti makannya, ada Ibu, nanti dimarahin” tapi dia mengabaikanku. Dalam hati Aku berkata “Ah, celakalah kami. Jangan bilang ketan yang ada di kuali untuk dimakan bersama-sama”

“Lihat Ayah, mereka bermain seharian sampai tidak pulang semalaman. Tiba-tiba dua anak nakal ini dattang dan langsung menghabiskan makan malam kita” ujar Ibu sambil memelototi Adik yang terciduk melongo didepan kuali yang sudah kosong melompong. Aku pun kaget saat melihat kualinya sudah kosong. Perasaan tadi waktu Aku keluar dari rumah dan melihat Ayah & Ibu pulang, sisa ketannya masih ada. Kenapa tiba-tiba habis?

“Kami sudah mengumpulkan banyak kayi bakar bu!” Aku mencoba membela adik. “Apanya, itu masih dikit, kau ini mengada-ngada” jawab Ayah dengan nada tinggi. Baru kali ini Ayah marah dengan nada meninggi dan tatapan tajam. Di dalam lubuk hatiku, Aku sudah ingin menangis, Aku takut kepada Ayah.

Ayah semakin kesal setelah diberitahu Ibu bahwa kami menghabiskan persediaan ketan untuk 2 hari kedepan. “Dasar, kalian ini anak manusia atau anak ikan?” bentak Ayah. Saat itu juga tiba-tiba petir menyambar tanah di dekat rumahku.

Seketika tubuhku terassa memanas, belum ada 1 menit setelah petir itu menyambar pohon di hutan. Adik mengeluh kepanasan, sepertinya kondisinya sama sepertiku. Panas yang begitu menyengat membuat kami berlari keluar dari rumah, mencari hawa segar di pinggir sungai. Bukannya merasa lebih dingin & segar, kami malah makin kepanasan.

Perlahan, badan kami menghitam. Aku berpikir, apakah ini karena kami belum minum seharian? Ataukah ini kutukan Tuhan karena telah melawan Ayah? Ah, otakku serasa penuh. “Kak, ngapain melongo? Buka baju aja kak, habis itu nyebur di sungai, sambil minum” ucap Adik sambil membuka baju kaosnya. Aku pun mengiyakan, dan segera menceburkan diri di sungai.

Byur. Saat itu juga cahaya silau menerpa mataku. Aku merasa kakiku menyatu, menjadi sebuah ekor. Saat pertama kali Aku melihatnya, Aku kira ini hanyalah sebuah ilusi. Namun setelah itu tanganku tiba-tiba tidak bisa digerakkan. Aku sangat terkejut. Pandanganku mulai memudar, begitu juga dengan kesadaranku

Aku terbangun setelah melihat sebuah cahaya yang sangat putih menyinari mataku. Sayup-sayup Aku mendengar seseorang menangis dipinggir sungai. “Aji, Andi, dimanakah kalian? Maafkan Ayah karena telah berkata kasar sebelumnya.. lain kali Ayah akan lebih berhati-hati menjaga mulut Ayah” ucap Ayah. Aku masih ragu dengan suara itu, sehingga Aku berenang ke permukaan sungai.

Sebelumnya, Aku tidak terlalu pandai berenang, paling hanya bisa mengambang di sungai. Namun, Aku merasa sekarang Aku jadi ahli berenang. Di saat itu juga Aku menyadari diriku telah berubah menjadi seekor ikan, dengan ekor dan sirip. Tanganku telah berubah menjadi sirip, dan kakiku berubah menjadi ekor.

“Ayah, Aku disini” –kenapa Aku tidak bisa ngomong? Aku sudah merasa menggerakkan bibirku, tapi tidak ada suara yang keluar. Ayah menatapiku dengan perasaan tidak percaya, begitu pula denganku. Tiba-tiba aku merasa sesak. Aku mencoba mengucapkan selamat tinggal ke Ayah dengan loncat dari air. Setelah itu Aku kembali masuk ke dalam sungai.

Aku menghela napas. Karena kembali menjadi ke manusia sudah tidak mungkin, Aku memutuskan untuk tetap tinggal di sungai, dan melanjutkan perjalanan hidupku. Aku tidak tahu bagaimana cara bertahan hidup di terumbu karang & mencari makan sendiri, namun Aku harus mampu. Aku juga akan mencari keberadaan adikku, karena dialah satu-satunya yang Aku kenal di laut ini.

Tamat.

Cerita ini terinspirasi oleh Legenda Asal Usul Pesut Mahakam yang berasal dari Kalimantan Timur. Btw ini dibuat dalam rangka tugas sekolah, jadi bahasanya lebih resmi dari yang biasa aku gunakan di blog ini.

#story