Disil's stuff

Mudik and my thoughts about Jakarta

Sebetulnya gw dah mau sharing pengalaman di Jakarta sejak beberapa bulan lalu, ketika somehow gw berada di PIK, alias pusat orang tionghoa yang menetap di Indonesia. Tapi karena satu dan lain hal (probably my sudden urge to utak-atik Linux lagi), akhirnya ga selesai, dan keburu lupa. Nah, as usual, gw mudik ke Jakarta, the place dimana nenekku tinggal.

Satu hari sebelum lebaran, dari Serang, gw berangkat dengan naik bus jurusan Kampung Rambutan, yang kalau diperhatikan, harganya terus meroket. Dulu, harganya sekitar 30k/orang, dan sekarang menjadi 50k/orang. Sampai di Kebon Jeruk, kami turun, dan transit naik busway.

Berbicara soal busway pastinya tidak terlepas dari manners (adab) ketika menaiki moda transportasi ini. Karena ini Jakarta, alias melting pot dari berbagai culture, maka sedemikian rupa norma yang diterapkan adalah norma "I don't give a fuck about your problem" alias ga kepo-an.

Apa dampaknya? Well, dampaknya adalah kekepoan gw yang bertambah. Kan banyak tuh yang berpakaian random (maybe kalau di Serang bakal dikomen kalo begitu) jadi ya gw "staring profusely at them" which they may think I'm a weirdo but no it's just that gw primitif.

Karena halte Harmoni (centralnya busway) itu tutup, gw jadi harus transit sampai 3x pindah-pindah bis. Untungnya karena banyak yang mudik jadi jalanan nggak terlalu macet.

Lebaran tahun ini tidak begitu meriah, karena ya tidak keliling2. Why? Well because my grandma neighbours had actually either died or move out. Jadilah area itu menjadi area anak kos-kosan atau homestay. No more kampung area, it's just a sleeping area now.

Menyedihkan memang. Imagine you had a whole circle of good neighbour, then slowly they gone because of natural death or because they sold their houses. I heard that banyak yang sudah menawar rumah nenek gw dengan harga yang fantastis, tapi karena pengurusan sertifikat problematik (I think somehow governement detect my grandma house as "tanah kotapraja") urusan menjadi seret.

Tapi, hey, at least gw jadi bisa merasakan hidup di lifestyle lavish selama mudik. Jalan keluar sedikit kamu akan bisa menemukan keberadaan tukang es yang begitu banyak, dengan booth/stand nya yang modern. Also, jangan tanya lagi soal keberadaan Mixue or Chatime; they are everywhere!

Sangat memancing diri untuk konsumtif. Btw, walau hanya bertahan di sana selama 3 hari sebelum akhirnya pulang, gw udah bisa tau pola kehidupan orang sana (worker class).

Pergi sekitar jam 5-6 ke kantor naik Grab. I don't know where they ate their breakfast, but somehow they make it to their office in the right time. Pas sekitar lunch time, mereka pergi bersama dengan serkelnya ke cafe2 ditengah kota sambil makan toast. Barulah, ketika hari sudah sangat sore (bahkan kadang melewati maghrib), mereka otw pulang dan bermacet-macetan di area SCBD.

Tentu saja mereka singgah di warung mi ayam ataupun nasgor yang harganya 20k tanpa topping apapun except kerupuk yang dibungkus kecil2. Memang sih, naik mobil, tapi kalau misalnya makannya hanya nasgor yang minim topping, I would rather live here in Serang.

Talking about price, harga Jakarta memang jauh berbeda dibanding dengan area lain. Everything is important expensive. Makanya wajar keluarga gw memilih untuk menghabiskan waktu as-short-as-possible di Jakarta, karena living costnya sangat tinggi. Bahkan sekelas tukang sayur pun harganya (kata nenekku) mahal.

Meskipun terlihat banyak stand, nyatanya, karena ini suasana lebaran, maka pedagang tersebut pada mudik. Mayoritas warung tutup, sehingga harus make Gojek. Memang ribet hidup disana.

Day 2 arrived. Hari dimana 1 Syawal dimulai, ditandai dengan banyaknya gaung takbiran yang digemakan di seluruh masjid. For Jakarta though, it only last sampe jam 10an. Lalu baru lanjut jam 5 pagi habis subuh. No comment mengenai hal ini ya, mungkin karena memang ngantuk, atau takut mengganggu yang non-muslim.

Gw beserta keluarga melaksanakan solat ied di lapangan SMAN 3 Jakarta. Untuk sekelas SMA, mengadakan acara sebesar itu bukanlah hal yang mudah. I can't imagine how much chaos there is, knowing that most of them pulang kampung, and those who stay weren't willing to ngurus persiapan solat. But anyway, lebih banyak warga sekitar yang mengurus acara, soo basically hanya lapangannya dan toa nya saja yang dipake.

Solat disini adalah suatu pengalaman yang selalu gw lakukan rutin setiap tahun ketika mudik ke Jakarta. Dari waktu masih bermimpi "gimana ya rasanya sekolah di SMA" sampai sekarang ketika sudah di jenjang yang sama, banyak kenangan yang terlintas. Duduk di lapangan sekolah menghadap kiblat itu sambil menatapi langit itu adalah sebuah pengalaman yang niche, mungkin tidak semua orang bisa merasakannya.

Dari P.O.V lapangan, kita bisa melihat kemegahan metropolis Jakarta, yang dikelilingi oleh tower raksasa yang super tinggi. Namun, sedikit menunduk, kita akan melihat khatib, yang menyampaikan ceramah mengenai kehidupan dunia yang tidak begitu penting.

Enough anak senja moment. Really, solat ditengah lighting langit yang biru tanpa ada awan sedikitpun, serta paparan sinar matahari yang belum terik itu lovely betul.

Sepulang dari solat, gw mau beli mi ayam. And that is where I found a pretty funny moment. Basically, there is this white guy riding motorcycle, stop in front of gerobak mi ayam. Dia turun, terus mondar-mandir sekitar 5 menitan, baru dia gather all his courage buat ngomong excuse me.

As expected, dikacangin sama mamang mi ayamnya. A weird experience. Di satu sisi, gw pengen bantu, tapi ya agak keder juga takut salah translate. Di sisi lain, ahaha ngekek🤣

Language barrier. That is something that all of us knew, although (maybe) tidak semua pernah merasakannya secara langsung. We really need to start learning English supaya bisa komunikasi in case of emergency like that.

Meskipun di sekolah sudah diwajibkan untuk belajar bahasa inggris, nyatanya implementasinya tidak sesuai ekspektasi. Ini adalah screenshot percakapan guru bahasa inggris gw dulu waktu MTs:

chat promosi
Konteks: guru ini sedang mempromosikan video penelitian siswa tentang bontot

Again, no comment. Im speechless lol. Ivysaur said:

We wouldn't want either foreigners or ourselves checking Google Translate every damn time we need to say some thing to the other party, it just looks stupid

Also, kita juga perlu untuk menggalakan culture kita. Bukan berarti karena kita open pariwisata semaksimal mungkin, maka mereka (foreigners) boleh behave seenak mereka. At least, berpakaian yang normal lah. Karena, gw kemaren melihat banyak foreigners yg make hanya tank top (cewek) and shorts, which is understanable karena cuaca yang panas, tapi ya tetep aja harusnya lebih aware terhadap lingkungan.

Tapi keuntungan tinggal di jakarta ya freedom tadi. No one gives a fuck about what you do and what you wear, unless it is really obnoxious.

Selepas solat, things became normal again. Banyak warung yang mulai buka, banyak orang yang kembali lepas jilbab, banyak orang yang menghabiskan kue lebaran di rumah orang lain, and more.

Lebaran di Jakarta memang tidaklah semeriah jika lebaran di kampung. Namun, gw dapat merasakan feeling jadi orang jaksel for a short period of time. Absolutely perfect experience xD

#thoughts