Disil's stuff

Review 🎥+📘 The Fault in Our Stars

Emoji di judul pos ini maksudnya adalah film + buku. Jadi, gw akan review kedua-duanya dalam satu artikel. Novel ini judulnya The Fault in Our Stars, ciptaan John Green. Lalu diadaptasikan menjadi sebuah film dengan nama yang sama. Baik buku maupun filmnya laku keras (pada zamannya, yakni 2014an)

Sinopsis

Cerita ini mengisahkan perjalanan hidup seorang girl yang berusia 16 tahun, bernama Hazel. Ia menderita kanker thyroid yang sudah menyebar ke paru-paru, sehingga perlu untuk menggunakan alat bantu napas di setiap saat (berupa sebuah selang oksigen).

Khalayak selalu bertanya-tanya pertanyaan seperti "orang ini kenapa ya? Apa yang terjadi sampe dia mesti pake alat bantu napas? Apakah ia bisa jalan? Kok bisa kena kanker?". Lalu orang yang sama itu mengucapkan kata-kata motivasi supaya bisa mengsupport Hazel (dan para penderita kanker lainnya). Lama kelamaan, hal ini menjadi menyebalkan, karena orang hanya peduli dengan kanker & kanker terus, tidak peduli terhadap hobi ataupun emosi yang sebetulnya si penderita alami.

Hazel muak dengan hal ini. Dia udah puas merasa sakit (secara lahir maupun batin). Ia sudah puas dengan kenyataan, dan sadar pasti akan mati. Karena kurangnya semangat hidup inilah yang membuat orang tua Hazel, memaksanya untuk mengikuti Support Group, yakni sebuah grup yang bertujuan untuk saling mensupport para penderita cancer ini. Tentu saja berbasis keagamaan, selalu meminta pertolongan Tuhan.

Tapi ternyata, dari event support group ini dia bertemu dengan seorang yang bernama Augustus Waters (Gus). Berperawakan yang baik, with blue eyes and a hunched back, dia datang ke support group karena permintaan temannya yang bernama Isaac.

Hazel dan Augustus

Seperti biasa, di group ini mereka memperkenalkan diri masing-masing. Hazel jatuh cinta pada pandangan pertama, namun setelah mendengar pandangannya terhadap oblivion, dimana menurut Gus kalau dia sudah meninggal maka tidak akan diingat lagi, kecuali melakukan sesuatu yang monumental. Hazel tidak setuju, and they got into a small debate.

Setelah pertemuan selesai, Gus langsung menghampiri Hazel dan confess (mengungkapkan cintanya). Meskipun awalnya Hazel agak risih, tapi ya namanya cinta. Yang awalnya beda pendapat, lama-lama mengesampingkan perbedaan mereka, dan bersatu deh. Cerita ini lalu mengisahkan perjuangan Hazel dan Gus dalam kehidupan mereka yang 'rentan' ini.

Thoughts

Novel ini diceritakan dengan Hazel sebagai tokoh utama. Gus juga banyak diceritakan oleh Hazel, ya karena dia 'my beloved'nya. John Green, sebagai penulis dari novel ini terkesan paham benar bagaimana perasaan dari remaja-remaja yang harus hidup dengan kanker.

Peranan tokoh pembantu juga banyak. Terutama ibunya Hazel, yang selalu memaksa anaknya pergi ke support group supaya bisa punya teman. Dan ternyata sukses, dia jadi kenal dan dekat dengan Gus.

Ada juga Isaac, Peter Van Houten, orang tua Gus maupun Hazel yang semuanya suportif dalam caranya tersendiri. Kombinasi karakter-karakter dalam novel ini menarik dan menjadikan novel ini tidak terasa monoton mengenai "sick teen relationship".

Banyak quotes yang menarik dari buku ini. Terutama dari Gus. Salah satu yang pernah dia ucapkan adalah "The world is not a wish-granting factory". I also liked when he said "I'm on a rollercoaster that only goes up, my friend," dengan ekspresi muka yang sangat positif, supaya Hazel itu terbawa suasananya.

Untungnya, gw menonton filmnya terlebih dahulu, baru membaca bukunya. Di film, Hazel diperankan oleh Shailene Woodley (tokoh utama dari film Divergent), dan Augustus oleh Ansel Elgort. Walau chemistry mereka berdua ga terlalu terlihat jika mengacu ke novel, tapi untuk penampilan fisik sudah sesuai (i mean who cares but its my blog so yeah).

Setelah nonton filmnya gw membaca bukunya. Ternyata jauh lebih bagus di buku, apalagi ketika endingnya. Bahkan sampai bolak-balik Amsterdam (I don't want to give context because it would be spoiler then).

Bahasa yang digunakan di dalam novel ini cukup beragam. Kalau di percakapan sehari-hari, tidak terlalu sulit sih untuk dipahami. Namun begitu, kalau sudah masuk ke bagian dimana Hazel berkontemplasi dengan makna kehidupan, ah, mumet. Apalagi kan gw bacanya buku yang versi aslinya, yakni berbahasa Inggris. Buku ini banyak mereferensikan penulis lama yang gw ga tau. Mungkin kalau di versi terjemahan Indonesia (yang bagus) lebih enak untuk dibaca bagi gw maybe.

Kesimpulanku adalah; banyak pengidap penyakit (salah satunya kanker) yang dipandang tidak utuh karena penyakitnya. Mengapa? Karena orang lain merasa pity alias iba. Muncul-lah yang namanya Cancer Perks, dimana anak dengan kanker bisa mendapatkan apa yang ia inginkan, tanpa melalui prosedur yang sesuai.

Hazel adalah contoh bahwa orang pengidap kanker tidak selalu mau diperlakukan "aduh kasian amat" begitu. Ia perlu diperlakukan sama seperti orang pada umumnya, and that's all mattered for a sick person tbh.

Bagi yang nyari comparison antara film dan bukunya, well I can say that the book is better for sure. But, nggak ada salahnya menonton filmnya, untuk bisa memvisualisasikan secara nyata tokoh fiksi ini.

There's a lot more to write but I'm scared it will leak the spoiler to you lol. Anyway, see you in another review! And for extras, here is two more quotes that I liked (and relate):

Pain is like a fabric: The stronger it is, the more it's worth.

Without pain, we couldn't know joy.

#review